Pendidikan karakter. jadi terdengar rumit, sampai perlu merombak sistem sekolah segala. Memangnya apa sih, kok jadi rumit begitu?
Bagi saya
pendidikan karakter itu adalah pendidikan rumahan. Pusatnya ada pada orang tua
yang menjadi teladan. Orang tua yang berkarakter, menjadi dirinya sendiri
secara otentik, dan itu menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Dalam hal
sekolah, guru-guru yang berkarakter, otentik, menjadi contoh bagi
murid-muridnya.
Pendidikan
karakter jadi terdengar rumit, karena kita biasa hidup tanpa karakter. Orang
tua dan guru tidak menjadi contoh bagi anak-anak.
Misalnya, orang
tua/guru mengajarkan tentang kebersihan, tapi mereka sendiri sering buang
sampah sembarangan. Mereka mengajarkan soal tepat waktu, mereka sendiri molor.
Mereka mengajarkan agar tidak bergunjing, tapi setengah dari hari mereka
dipakai untuk bergunjing.
Anak-anak saya
sekolah mahal, guru-gurunya mungkin sudah banyak belajar teori pendidikan
karakter. Tapi maaf saja, mereka tidak berkarakter.
Suatu hari
sekolah anak saya jadi tuan rumah kegiatan nasional antar sekolah dalam satu
yayasan. Halaman sekolah penuh sampah. Guru dan murid kompak membuang sampah
sembarangan.
Kalau saya
datang pada suatu acara di sekolah anak saya, sering saya temukan ruang-ruang
kelas dengan lampu menyala, AC diset pada suhu paling rendah. Padahal tak ada
orang di situ.
Sering saya
tegur guru-guru dan bahkan kepala sekolah soal ini. Mereka dengan manis akan
menjawab,”Iya, Pak. Mohon maaf, bla bla bla….” Penuh basa basi.
Di atas saya
singgung soal menjadi otentik. Apa itu? Menunjukkan karakter kita yang asli.
Bersih, tepat waktu, disiplin, tenggang rasa, dan sikap-sikap positif lainnya
harus melekat di diri orang tua dan guru.
Jadi saat
mereka mengajarkan sikap-sikap itu, mereka sedang menjadi diri mereka sendiri,
bukan sedang berakting. Orang tua atau guru yang berpura-pura tidak akan bisa
menularkan karakter yang baik.
Jadi, kalau mau
membangun pendidikan karakter, yang perlu kita lakukan adalah revolusi sikap
oleh para orang tua dan guru.
Masalah kita
adalah kita tidak mau lepas dari berbagai kenyamanan. Kita tidak mau beranjak
menjadi manusia berdisiplin, karena tidak disiplin itu nyaman buat kita.
Berhenti bergunjing? Aduh, mana mungkiiiiinn.
Kita bersikap
bahwa pendidikan karakter itu untuk anak-anak. Sementara kita ingin sikap kita
boleh dipertahankan, sampai kita mati. “Kamu saja yang rajin dan tertib ya nak,
bapak ibu mah sudah tua, nggak mungkin berubah lagi.”
Begitulah cara
kita membuat pendidikan karakter jadi rumit.
Sumber : Kompas.com
0 Response to "Pendidikan Karakter"
Post a Comment